Menyusuri Secuil ASEAN !!

Kutinggalkan decak kagum untuk negara-negara ini. ASEAN is Paradise !

This is the Way I love Being a Backpacker !

Ber-backpacking menguji kita banyak hal, mandiri, terbuka dan berani.

Rindu Kota Sultan, Yogyakarta!

Berpetualang (lagi) di Kota yang sarat akan Tradisi nya, Yogyakarta

Welcome In Thailand (Part 1) - Sehari Di Bangkok

Pengalaman Pertama Pergi Ke Luar Negeri, Gratis !

08 Januari 2015

DNS (Domain Name System)

5.2.4 DNS



This page allows you to configure DNS (Domain Name System) and DDNS (Dynamic
DNS) settings. The DNS is the Internet service that translates your domain names into
IP addresses. When you connect the IP KVM to a DSL line or use a DHCP
configuration and get a dynamic IP address from the network, the IP address may not
the same as previous connection. Therefore, it is difficult to know if an IP address has
changed or what the new IP address is. A Dynamic DNS service is provided by
various ISPs or organizations to deal with this situation. By using the Dynamic DNS
service, you can access the IP KVM through the hostname registered in the Dynamic
DNS Server regardless of any IP address change. The IP KVM only supports
Dynamic DNS service offered at Dynamic DNS Network Services

To use the Dynamic DNS service provided by Dynamic DNS Network Services, you
must set up an account in their Members' NIC (Network Information Center -
http://members.dyndns.org). You may then add a new Dynamic DNS Host link after
logging in to their Dynamic DNS Network Services Members NIC.
After enabling the Dynamic DNS service in the Dynamic DNS Configuration menu,
you must enter the registered Domain Name, User Name and Password. After
applying the configuration change, you can access the IP KVM using only the
Domain Name.

Item Description

DNS Server 1/2 Enter the IP address of DNS server(s).
Dynamic DNS Select to enable or disable DDNS.
Domain Name Enter the domain name of your DDNS account.
User Name Enter the user name of your DDNS account.
Password Enter the password of your DDNS account.
Interval Time Enter the time interval after which DDNS server should check
and update the IP address of your server if changed.
DIP-101 Manual

01 Maret 2014

Menyusuri Secuil ASEAN [4] Phnom Penh At The First Sight



Good Morning, Kuala Lumpur !! Ini adalah hari terakhir saya di Kuala Lumpur sebelum melanjutkan perjalanan ke Cambodia. Seperti biasa, saya menyantap sarapan di Wisma Cosway Raja Chulan bersama Abang Poon, dengan serta membawa tas carrier saya. Saking seringnya saya pergi sarapan di tempat ini, ibu-ibu teh tarik sampai sudah hafal benar apa yang mau saya pesan hehe, habis murah sih!. Seusai sarapan saya tidak punya jadwal berkeliling lagi, apalagi dengan membawa tas berat seperti ini. Akhirnya saya memutuskan untuk tidur di free go KL bus dari pagi sampai siang, memang bukan tidur pulas karena setiap setengah jam kita akan turun di stesen akhir [HAB Pasar Seni atau KLCC] dan harus naik bus yang berada di depan nya dan begitu seterusnya. Tapi ya lumayan lah, selain harus menyimpan energi untuk perjalanan ke negara berikutnya, toh hampir semua tempat di Kuala Lumpur sudah terjelajahi, time to relax for a bit !.

Mondar-mandir itupun berlangsung lama hingga jam 11.30 sebelum saya bertolak ke KL sentral dengan LRT dari HAB Pasar seni [1 MYR]. Untuk menuju LCCT dari KL Sentral, cukup turun ke lantai dasar dan disana sudaha ada beberapa bus yang siap mengantar anda ke LCCT (disana ada juga rute ke Genting Highlands). Dengan tarif 10 Ringgit, saya kembali di antar melihat gedung gedung Kuala Lumpur yang megah untuk terakhir kalinya pada hari itu, disusul dengan deretan pohon kelapa sawit yang tertanam rapi. Selama kurang lebih 1,5 jam, sampailah saya di LCCT untuk penerbangan ke Phnom Penh, Kingdom of Cambodia. Oh iya, di deretan kursi T11 tempat saya menunggu pesawat, saya melihat beberapa orang Khmer (sebutan untuk orang Kamboja) terlihat bercakap cakap satu sama lain, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mencoba bertanya tentang kalimat kalimat umum bahasa kamboja, karena sebagian besar warga kamboja tidak mampu berbahasa inggris, setidaknya beberapa kalimat itu cukup membantu dalam perjalanan nantinya. Mulai dari sini juga, saya akan ditemani teman saya, Mbak Siti, yang secara kebetulan punya jadwal yang sama dengan flight yang sama :D Alhamdulillah akhirnya bisa narsis juga nanti di Kamboja haha.

Perjalanan tidak berlangsung lama dengan Airasia AK1474 yang kami tumpangi, beberapa saat kami pun telah mendarat halus di Phnom Penh International Airport. Bandara nya tidak terlalu besar, hanya ada dua conveyor belt di terminal internasional, bahkan mungkin bandara juanda Surabaya / Adi Sutcipto di Jogja lebih besar dari bandara ibukota negara Kamboja ini. Terminal kedatangan internasional pun tidak ubahnya seperti bandara bandara kecil di Indonesia, tapi ya sudahlah, saya datang bukan untuk membandingkan negeri saya dengan negeri orang, setiap negara punya cerita masing masing dan mulai saat itu, saya bukan ada di negara jalur gemilang lagi, melainkan negara berbendera biru merah biru dengan angkor wat di tengah nya, Ladies and gentleman, welcome to Kingdom of Cambodia !!.

Kami dijemput oleh teman Kamboja saya, Panha. Kami sudah berteman lama di facebook sekitar satu tahun, kami sering chatting dan ber-video call lewat skype,  dan akhirnya kami bertemu secara langsung pada saat itu di Airport. "Soursdey, Panha !" Sapaku kepada nya dalam bahasa Khmer. Awalnya saya berniat untuk tinggal di rumah Panha selama perjalanan di Kamboja, sayangnya saat itu rumahnya sedang di renovasi, alhasil untuk membayar kekecewaan saya (yang saya sebenarnya juga tidak kecewa samasekali), dia bersedia untuk membayar semua akomodasi saya selama di Kamboja, sesuatu yang jarang dilakukan orang lain pada seseorang di pertemuan pertama. Oh iya, di Kamboja, dua mata uang diterima secara luas, yaitu USD (Dollar) dan KHR (Riel). Untuk pecahan besar, biasanya menggunakan USD, sementara untuk kembalian dan pecahan kecil menggunakan KHR atau Riel. 1 USD setara dengan 4000 KHR. Sebelum meninggalkan airport, saya membeli kartu perdana lokal Kamboja, Smart, dengan harga USD 3 untuk jaga jaga in case kalau kami terpisah atau tindakan pencegahan lain, terlebih dari itu, internet juga hal yang sangat penting untuk memberi kabar keluarga saya di rumah dan tetap eksis di facebook :D haha
Phnom Penh International Airport
Untuk sampai ke pusat kota yang jaraknya tidak terlalu jauh, pilihan paling murah adalah dengan Ojek, entah apa namanya kalau di terjemahkan ke bahasa khmer. untuk sampai ke hotel dipasang tarif 2 USD saja. Panha menggonceng Mbak Siti dengan motor miliknya sedangkan saya naik Ojek dengan abang ojek nya. Sayangnya, saya tidak tahu nama hotel yang nanti akan kami tempati, Panha bahkan belum memberitahu tentang hal itu, dan waktu abang ojek melaju dengan kencang nya meninggalkan Panha dan Mbak Siti yang tertinggal jauh di belakang, saya merasa sedikit was-was, namun tetap positive thinking menganggap abang ojek sudah tahu benar dimana harus menurunkan saya. Semasa perjalanan, saya benar benar merasa ada perbedaan antara Indonesia dengan Kamboja dalam segi transportasi. Disini, perbedaan paling jelas terlihat di tepi jalan di setiap bangunan atau kedai dimana setiap tulisan jelas tidak terbaca oleh saya karena menggunakan aksara khmer. Anda pasti kaget ketika pertamakali berada di Phnom Penh karena disini, pengemudi kendaraan bermotor melaju gila-gilaan, saling mendahului satu sama lain, bahkan lampu merah pun jarang dipatuhi !, memang tidak sehebat dan segila di Vietnam yang katanya harus sampai tengok 360 derajat kalau mau menyebrang jalan, tapi bagi saya, arus kendaraan di Phnom penh sudah termasuk kategori gila. Sempat jari saya hampir terjepit oleh bemper mobil yang ada di belakang ketika berpengangan pada ojek yang berlari cepat, untung saja saya cepat menarik tangan saya. Oh iya, soal udara disini relatif sejuk dibanding Kuala Lumpur, tapi demikian, di Phnom Penh dan mungkin sebagian besar wilayah Kamboja wilayahnya berdebu. Sebagai langkah antisipatif, selalu bawa masker dari rumah ketika akan berkunjung ke Kamboja, perjalanan ke hotel kala itu tidak terlalu berdebu, namun pada kunjungan ke tempat wisata lain seperti Killing field, masker benar-benar alat penyelamat kita ! Tapi apapun itu, saya sangat menikmati setiap detik berharga disini.

Kembali ke perjalanan, akhirnya dugaan saya benar, Abang ojek tidak tahu lokasi hotel tempat kami menginap. Beberapa kali dia berhenti dan bertanya kepada orang lain di keramaian pasar, tapi tak ada hasil. Saya mencoba berkomunikasi dengan dia tapi apa daya, bahasa inggris yang dia tahu hanya sebatas I, you dan My friend, bahkan untuk menyebut "Teman kamu" pun dihajar dengan kalimat my friend, saya mulai bingung bagaimana jika kami tidak bertemu lagi :( Oughh sial !. Untungnya saya sudah membeli kartu perdana lokal, akhirnya saya menyuruh Abang ojek untuk berbicara dengan Panha lewat telepon. Setengah jam, kami masih mondar-mandir mencari hotel walau sudah telepon berkali kali. Dan akhirnya dia berhenti di Town View Hotel dan berkata disanalah hotel saya, tapi saya belum melihat Panha dan Mbak Siti. Sekejap dia meminta uang dengan menyodorkan tanganya ke arah saya. Tapi saya menolak dengan bahasa tubuh, My friend (menunjuk orang lain) .. come here (menunjuk kebawah) .. then I (menunjuk saya) .. will pay (gerakan menyerahkan uang) dan dia mengerti. Panha dan Mbak Siti pun datang beberapa menit kemudian, fuihh syukurlah.. 
Town View Hotel, 14 USD per Malam utnuk Dua Orang
Kami akan berada 2 malam di Town View Hotel, yang bertarif USD 14 per malam untuk satu kamar twin bed (2 orang), karena kami bertiga dan merasa tidak enak untuk menyewa satu kamar lagi, akhirnya saya menyarankan untuk menggunakan ekstra bed saja. Percakapan seru terjadi hingga malam sebelum kami pergi makan malam di salah satu kedai sederhana. Ada satu makanan yang patut untuk dicoba selama berada di kamboja yaitu Amok. Makanan itu seperti soto daging tapi dengan bumbu mirip masakan padang, entahlah pokoknya harus coba deh !. Satu porsi besar amok bertarif 8000 hingga 12000 riel (2-3 USD). Seusai makan malam, kami berkeliling pusat kota melihat Independence Monument pada malam hari, ini seperti sebuah landmark utama kota Phnom penh, kalau jakarta punya Monas, Kuala Lumpur punya Petronas, Phnom Penh pun punya monumen kemerdekaan. Terletak persis di depan Independence Monument adalah monumen patung Norodom Sihanouk, yang telah wafat pada tahun 2012 lalu, rakyat kamboja mendirikan patung ini untuk mengenang jasa beliau. kami juga melihat Wat Phnom dan Wat Botum sekilas tapi tidak terlalu jelas karena malam hari, yang terletak tidak jauh dari Independence Monument. Ada juga Royal palace dan Sisowath quay yang menjadi tempat asik untuk nongkrong pada malam hari. Tentu saja saat itu dimana kami secara gila berusaha mengabadikan momen itu dengan ratusan foto, malahan saya jadi gak enak sama Panha yang kami paksa ikutan foto haha. Setelah night tour usai, kami kembali ke Hotel untuk beristirahat, menanti hari selanjutnya yang pastinya akan lebih menarik. Perjalanan hari pertama saya ke negara ini sungguh berkesan, terlebih lagi saya ditemani dua orang yang super ramah dan cepat nyambung dengan saya. Thanks Phnom Penh !, you do really got my attention at the first sight !
Independence Monument dan Patung Norodom Sihannouk

Pengeluaran Hari ke [7]  
Air Mineral MYR 1, LRT Pasar Seni - KL Sentral MYR 1, Tune Bus ke LCCT MYR 10, Beli SIM Card Kamboja USD 3, Ojek ke pusat kota USD 2, Makan malam Amok USD 3
TOTAL = MYR 12, USD 8 


CERITA SELANJUTNYA [ PART 5 ].

21 Februari 2014

Menyusuri Secuil ASEAN [3] Menelaah Islam di Putrajaya


Jeritan alarm handphone saya berbunyi, waktunya memulai petualangan baru di Malaysia. Hari ini saya akan bertolak ke Putrajaya, sebuah kota yang masih sangat muda, salah satu bentuk langkah antisipasif pemerintah malaysia untuk menghadirkan kota yang enviromental friendly. Karena Kuala Lumpur sudah terlalu sesak oleh berjuta penghuni, Putrajaya pun didirikan sebagai pusat pemerintahan. Tapi sebelum itu, saya berinisiatif untuk segera berpamitan kepada teman CS saya, Abang Poon, dan segera mencari budget hostel di daerah Petaling. Bukan apa apa, saya sudah dapat tempat tinggal gratis untuk dua malam, selalu ditraktir sarapan, dan selalu dijemput selesai trip, rasanya gak enak banget kalau harus menambah semalam lagi, perilaku kejawen, sungkan itu masih saya pegang. Akhirnya dia memperbolehkan dan mengantar saya hingga Raja Chulan untuk menyantap sarapan sekalian (yang juga ditraktir). 

Seusai sarapan, saya berpamitan ke Abang Poon dan memulai berburu penginapan. Seperti biasa, untuk menuju Petaling, saya menggunakan Go KL Bus yang gratis daripada harus naik KTM Komuter. Keliling keliling selama kurang lebih dua jam, saya belum menemukan hostel yang pas, banyak diantaranya yang memasang tarif 30 sampai 60 ringgit, saya bersikeras menolak karena target saya mendapat kamar dengan budget maksimal 15 ringgit. Di salah satu sudut Petaling, agak menjorok kedalam, saya menemukan hostel yang saya lupa namanya, menawarkan kamar seharga 15 ringgit dengan catatan harus legowo menerima kondisi hostel yang gelap, dengan gagang pintu yang sudah jebol, receptionis yang sudah tua dan kayaknya kaki nya tidak menempel ke tanah, berasa jadi korban human traficking deh. Ogah!! saya memang tahu prinsip "ada harga ada mutu" tapi setidaknya hostel dengan kondisi yang lebih baik mungkin tersedia dengan harga yang sama di sudut lain, who knows!. Saya kembali mencari hostel lainya, dan Voilla !! Le Ville Guesthouse berhasil saya dapatkan dengen harga yang sama, 15 Ringgit, kamar standar dorm yang hanya ditempati dua orang termasuk saya, receptionis nya ramah lagi. Nah this is what I'm looking for!. Setelah meletakkan barang, saya langsung menuju tujuan utama saya, Kota Putrajaya !!

Ada dua pilihan transportasi untuk sampai ke Putrajaya. Yang pertama dalah naik KLIA Transit dari KL Sentral seharga RM9.5, atau naik bus E1 dari HAB Pasar Seni yang cuma seharga RM4. Sayangnya, saya hanya tahu kalau untuk menaiki bus E1 kita harus menuju HAB Pasar Seni tapi saya tidak tahu persis dimana bus menunggu penumpang. Tanya sana sini, saya malah "dioper" ke lokasi lain dan setelah menunggu beberapa menit pun, bus E1 tetap tidak ada disana. kemudian saya kembali bertanya, dijawab harus ke Kotaraya, tempat macam mane pulak itu ?!. Tanya ke orang yang berbeda, dijawab harus ke MyDin Building. Saya stress berat karena belum menemukan bus juga. Akhirnya win win solution saya pergi ke KL Sentral untuk naik KLIA Transit, lebih mahal memang. Tapi selain lebih cepat, KLIA Transit juga nyaman dengan AC yang super dingin. Dari Pasar Seni saya naik LRT ke KL Sentral seharga RM1, Lanjut KLIA Transit ke Putrajaya dengan harga RM9.5.

Sekitar 45 Menit saja kereta sudah mengantarkan saya di Stesen Putrajaya Sentral. Stasiun ini relatif sepi dan bangunan nya cenderung berarsitektur gaya lama. Dari sini kita bisa naik elevator ke Lt.2 untuk menuju Putrajaya Sentral. Kalau tadi stasiun nya sepi, terminal nya malah ramai. Banyak kios, kantor polisi, kounter informasi dan beberapa petunjuk rute lengkap tersedia disana. Untuk menuju pangkalan bus, jalan lurus hingga ke elevator dan turun menuju terminal Putrajaya Sentral. Tujuan saya adalah objek wisata yang punya gaya arsitektur yang memukau seperti Bangunan Putra Perdana, Masjid Putra, Gedung Keuangan, Istana Kehakiman, Masjid Sultan Mizan, Sri Wawasan Bridge dan Esplanade Putrajaya. Semua empat tempat wisata itu bisa ditempuh dengan naik Bus L01 dan L02 dan turun di Halte Kompleks ABCDE. Sayangnya perjalanan tidak selancar yang saya harapkan. Setelah saya naik bus L02, saya kebingungan mencari dimana letak halte itu, dan bus melaju kencang hingga pemberhentian terakhir, yang berarti halte sudah terlewati. Oh god !! saya terjebak di middle of nowhere ketika peta rute pun tidak membantu samasekali. Ditambah lagi penamaan jalan di Putrajaya yang sangat tidak user friendly ! Mereka menamai setiap jalan dengan kombinasi huruf-angka, semisal P14, APT.P.14, P2,3. Nama jalan kaga kreatif banget sumpah -_- !!. Di tempat saya terombang-ambing nasibnya ini juga tidak banyak orang berlalu lalang, saya menunggu bus di dekat palang Bus Stop seperti orang bego. Setengah jam, bus belum terlihat. Mulai bosan dan panik, akhirnya saya menuju kantor polisi yang berjarak beberapa blok dari tempat saya berdiri. Dan dia menyarankan untuk tetap menunggu di tempat tadi. OKE akhirnya saya kembali ke tempat tadi dan berusaha sabar menunggu bus. Beberapa saat kemudian bus datang, saya bergegas naik saat semua penumpang turun (karena last stop). Saya mulai menunjukkan gambar Bangunan Putra Perdana pada brosur, karena pak supir yang (mungkin) kasihan, saya akhirnya diantar sampai terminal P14 untuk menunggu bus berikutnya yang akan melewati rute berlawanan.  
Putrajaya Sentral - Laluan Bus - Signboard "Putrajaya"
Dan Akhirnya setelah tersesat ga jelas, saya berhenti di Halte Kompleks ABCDE dengan bus yang cuma bertarif 50sen, hanya jalan kaki sebentar dan perlahan kubah dari Masjid Putera dan Sultan Perdana mulai terlihat. Tujuan pertama adalah Masjid Putra, masjid megah yang bergaya khas timur. Memang bukan masjid bersejarah karena baru dibangun bulan Juni 1997, tapi bangunan ini seolah menjadi salah satu icon kota "muda" ini. Di dalam nya bagus banget, kita bisa menemukan islamic counter yang menyediakan brosur brosur gratis untuk mereka yang ingin tahu lebih banyak tentang islam, ada guide yang akan menjelaskan bagian-bagian masjid dan ada tempat peminjaman tudung bagi yang berpakaian mini. Satu hal yang saya kurang suka, adalah masjid yang seharusnya untuk ibadah, dikomersialkan semaksimal mungkin untuk tujuan turis. Selain melihat muslim yang sedang shalat, kita juga akan melihat pintu utama masjid ini yang "diberi pagar" sebagai batas turis, disana ada beberapa yang mengambil foto seenaknya, you know lah, cahaya flash kamera, pose pose sexy, bersuara keras, bahkan beberapa orang menunjuk-nunjuk orang yang sedang shalat macam sedang di kebun binatang gitu -_-. Saya pernah sekali diusir dari Masjid Jameek karena mengaku sebagai non-muslim (iseng), bagi saya ini terlalu brutal dan sangat tidak toleran karena melarang seseorang yang mungkin ingin tahu lebih tentang islam hanya karena perbedaan keyakinan. dan di Masjid Putera ini malah terlalu terbuka kepada turis, bahkan shalat pun menjadi ajang pertunjukan bagi mereka dengan kamera menjuntai di lehernya. 
Keindahan masjid Putera, Putrajaya
Tapi terlepas dari itu semua, Masjid ini sungguh memikat hati. Saat saya menuju Islamic Counter untuk sekadar mengambil brosur tentang pengetahuan islam, seseorang mendekati saya dan bertanya apa yang mau kamu tahu tentang islam?. Saya pun bertanya banyak hal, mulai silsilah keluarga nabi, haji, halal dan haram, sampai topik bahasan yang ga penting pun mereka layani, hingga ada dua orang guide lain yang tertarik dengan topik yang saya bahas. Lumayan untuk memperdalam ilmu tentang bagaimana nilai nilai timur sebenarnya. Percakapan berjalan seru, dan mereka bertiga orang orang yang ramah, hal itu pun berlangsung hingga adzan ashar berkumandang, salah seorang dari mereka pun menawarkan diri untuk mengajak saya berkeliling Putrajaya dengan mobil pribadinya tanpa dipungut biaya!. Whahhh thank you so much !! tidak pernah mengira bakal dapat free guide disini. Setelah shalat Ashar, saya naik ke mobil ibu guide tadi dan perjalanan baru akan dimulai !

Beliau mengantar saya ke banyak tempat, kami melewati banyak gedung unik mulai Istana Kehakiman, Gedung Kehutanan, Pemerintahan SDA Mineral, Gedung Keuangan yang kesemuanya adalah bangunan yang sangat indah! beliau bahkan menjelaskan secara rinci tentang setiap bangunan yang kami lewati. Beberapa saat mobil melaju, kami akhirnya berhenti di salah satu sudut jembatan putrajaya, disini terdapat juntaian patung naga dan view yang spektakuler ke bendungan di depan nya. Seusai itu saya ditemani ke Putrajaya Int. Convention Centre [PICC] untuk melihat view keseluruhan kota ini dari atas bangunan. Dari atas terlihat kota yang tertata rapih dengan taman, gedung, sungai yang ditata sedemikian rupa demi kota yang eco friendly. 

Salah satu Jembatan Dengan Patung Naga [Kanan], View dari atas PIIC [Kiri]

Pejalanan berlanjut ke Masjid Sultan Mizan atau sering disebut Masjid Besi, karena struktur bangunan nya yang terbuat dari baja. disini terdapat kolam yang terhubung dengan bangunan dalam masjid. "Pool in the Mosque". Dan katanya ada semacam gelombang ombak ombak kecil di dalam kolam yang memperindah esensi dari sebuah masjid. Sayang sewaktu kedatangan saya, ombak-ombak itu tidak dihidupkan. Dari sini kita bisa naik keatas untuk mendapat background foto yang sangat ciamik, dengan latar belakang istana kehakiman yang berbentuk mirip seperti Taj Mahal, dipagari dengan bingkai gedung bertingkat, dengan taman di tengahnya ! sumpah keren banget. Ini salah satu spot yang ga mungkin bisa terlewat jika berkunjung ke Putrajaya, kemudian saya diantar menuju suatu tempat lain di pinggir danau dengan view yang tidak kalah menarik.
Masjid Sultan Mizan, Putrajaya dengan salah satu view yang Keren
Bagi saya yang pada saat itu sedang lajang solo traveller, kehadiran ibu ini selama perjalanan sangat membantu sekali, saya akhirnya bisa minta tolong untuk mengambil beberapa foto dengan saya di dalamnya, karena selama 2 hari yang lalu saya bahkan tidak pernah meminta orang untuk fotoin saya, yah masih agak agak malu bersosialisasi. Tapi lebih dari itu, beliau bercerita semua yang dia tahu tentang Putrajaya, sampai saya tidak mampu mengingat apa saja yang sudah beliau sampaikan. Dia adalah seorang pensiunan staff rumah sakit yang mengajukan diri sebagai volunteer di Masjid Putera. Dua minggu sekali beliau berangkat dari rumahnya yang berjarak sekitar 60Km dari Putrajaya untuk berbagi ilmu, menyebarkan nilai nilai islam dengan menjadi "information counter" di sana. Saat saya menyodorkan beberapa uang ringgit kepadanya, dia bersikeras menolak. Dia percaya bahwa pengetahuan keagamaan adalah sesuatu yang harus diketahui oleh semua orang, dan baginya, sudah menjadi kewajiban bagi mereka yang tahu lebih untuk memberi tahu yang belum, menyebarkan pengetahuan tersebut sudah membuatnya senang dan damai. Beliau mengajari saya bahwa hidup tidak selalu tentang uang atau seberapa mahal baju Louis Vutton yang kau beli, tapi seberapa penting peran mu di masyarakat, dan bagaimana kau dapat hidup damai sesuai tuntunan agama yang kita anut. Salut dengan beliau, apa yang dia lakukan semata mata untuk menyebarkan islam !. Putrajaya, sebuah kota baru yang unik dan sarat akan nilai timur, semoga tidak berujung kepada westernisasi seperti banyak kota lain di asia tenggara :)

Perjalanan kami berakhir di Stesen Putrajaya Sentral dengan juga diantar oleh beliau, saya mencium tangan nya bagai seorang ibu dan berpamitan kembali ke Kuala Lumpur pada sore itu, senang rasanya bisa bertemu dengan "Malaikat dari Putrajaya". Untuk kembali ke Kuala Lumpur, saya menemukan bus E1 dengan antrian panjang para penumpang, sempat takut tidak kebagian kursi karena memang frekuensi kedatangan yang agak jarang, tapi untungnya dapat juga hehe. Di dalam perjalanan saya mendapat SMS dari Abang Poon, saya diminta untuk kembali ke condo nya. Akhirnya setelah sampai di HAB Pasar Seni, saya check out dari Hostel dan bertolak ke KL Sentral. "Terus tadi check in buat apa ya? haha, rugi 15RM deh saya" yah, hitung-hitung buat nitip backpack deh XD. Oh iya, sebelum saya menuju KL sentral, saya berjalan jalan di sekitar Jalan Petaling yang ramai pada malam hari dan membeli beberapa cemilan untuk makan malam. Anda pasti tidak akan pernah bosan mengelilingi Jl.Petaling, barang barang yang bervariasi plus harganya yang reasonable membuat siapapun yang datang pantang untuk tidak berbelanja sedikitpun !!.

Di KL Sentral, saya janjian dengan teman saya yang kuliah di Universiti Malaya, dia memberi tahu banyak hal tentang perkuliahan di Malaysia serta memberi saya info info beasiswa. Semoga tahun depan saya bisa melanjutkan pendidikan di negeri ini Amen :). Akhirnya setelah beberapa menit berlalu, kami pun berpisah dan saya pergi ke Stesen KTM Batu Kentonment untuk kembali ke condo Abang Poon, soo sorry to bother you yah :( maaf sudah banyak merepotkan. Malam itu kami bercakap cakap hingga larut malam, senang sekali punya teman yang bisa mengerti keadaan saya. Ini adalah malam terakhir saya di negeri Jiran sebelum besok nya saya bertolak menuju negara selanjutnya, Kamboja .... Detik detik jarum jam pun mengantarkan saya pada tidur lelap hingga esok pagi.

Pengeluaran Hari ke [6]  
Bayar Hostel MYR 15, Air minum MYR 1.2, KLIA Transit ke Putrajaya MYR 9.5, Bus Putrajaya Sentral ke P14 Free, Bus dari P14 ke Halte ABCDE MYR 0.5, Bus E1 Kembali ke Pasar Seni MYR 4, Makan malam roti canai + bunch bread + air MYR 5.7, LRT Pasar Seni ke KL Sentral MYR 1, KTM KL Sentrak ke Batu Kentonment MYR 2
TOTAL = MYR 38.9
 

19 Februari 2014

Menyusuri Secuil ASEAN [2] Kuala Lumpur Dengan Bus Gratisnya


Setelah 2 jam duduk manis di Pesawat, akhirnya saya sampai di terminal LCCT Kuala Lumpur sekitar jam 2 siang waktu setempat. FYI Kuala lumpur punya 2 bandara, pertama adalah KLIA, KLIA sendiri dibagi menjadi 2, KLIA yang didominasi oleh maskapai Bussines and First Class dan LCCT (Low Cost Carrier Terminal) yang melayani maskapai bertarif rendah, yang kedua adalah Bandara Subang yang melayani maskapai maskapai kecil. Untuk sampai ke pusat kota dari LCCT sangat mudah, banyak pilihan bus yang bisa mengantar bapak dan ibu sekalian (jadi kayak orasi deh ini -_-). Harga termurah yang saya temukan adalah Aerobus dengan tarif 8 Ringgit [Rp 29.800]. Setelah mengantre imigrasi yang super panjang, akhirnya kelar dan langsung menuju pangkalan bus di depan LCCT. Jalanan yang mulus dengan view deretan pohon kelapa sawit yang tertanam sangat rapi menghiasi sepanjang perjalanan. Sembari memainkan lagu nya Yuna yang judulnya Malaysia Truly Asia, Saya sudah mulai merasakan kecantikan negeri jiran ini :D
Salah satu sudut bandara LCCT Kuala Lumpur
Sekitar jam 5 sore saya tiba di KL Sentral, spekulasi saya sepertinya salah besar. Saya kira bakal sampai di KL sentral pada pukul 12.30 siang, Ehh ternyata salah perhitungan, akhirnya rencana mengunjungi Lake Gardens dan Masjid Negara jadi batal, saya meneruskan rute ke Pasar Seni dengan LRT hanya 1 Ringgit, sembari menunggu teman Couchsurfing saya yang bakal menjemput sekitar jam 8 malam. Saya berjalan tanpa tujuan dari Pasar Seni sampai Dataran Merdeka dan Masjid Jameek, lalu kembali ke arah Jalan Petaling dan mungkin hampir sampai di KL Sentral dengan jalan kaki, Well saya tidak tahu apa yang saya lakukan haha, menghabiskan waktu dengan cara ini menyenangkan juga. Walaupun jauh tapi saya melewati nya dengan senang hati, bahkan dengan tas carrier 8,5 Kg menempel di punggung haha. 

Telusur telusur kaga jelas, akhirnya saya nemu Restoran India, lumayan nih buat ngisi perut. menu andalan pilihan saya pastilah Teh Tarik [RM 1,5] dan Roti Canai. untuk selembar roti canai yang katanya sih India banget, dihargai 1 ringgit, jangan kira porsi nya kecil, selembar canai aja udah bikin perut penuh. Sialnya, saya awalnya tidak tahu porsi nya bakal sebesar itu dan akhirnya saya pesan 4 porsi. And I was just like "Oh my God, how can I eat all of these?". Sembunyi-sembunyi saya ambil dua lembar tisu dari tas dan membungkus dua lembar roti canai itu di hadapan banyak mata yang memelototi saya, dan itu adalah perbuatan paling memalukan yang pernah saya perbuat di Kuala Lumpur haha. Buat anda yang lapar, 2 lembar canai aja udah penuh tuh perut, beneran dah !. tentunya anda tidak mau berakhir seperti saya kan haha .. ah sudahlah ga penting.

Kembali berjalan, saya menemukan toko kartu perdana, Digi. berhubung saya perlu untuk berkomunikasi dengan teman CS, saya beli satu kartu perdana dengan harga 11 ringgit yang tentunya agak mahal sih. Tapi itu sudah komplit dengan pulsa 6 Ringgit dan Internet unlimited 2 hari. Telfon ke nomor Indonesia yang saya kira mahal eh taunya cuma habis 50 sen doang atau tidak sampai Rp 2.000. Setelah jalan jalan gak jelas itu, akhirnya saya memutuskan kembali ke KL Sentral dengan LRT dari pasar seni kemudian bertemu teman CS yang baru saja pulang dari Bangkok. Hari pertama di KL itu pun berakhir dengan sempurna, dan berharap hari berikutnya akan lebih baik.

-- 0 --

Hari kedua di Kuala Lumpur saya berencana melihat Pertunjukan budaya Malaysia di MaTiC [Malaysia Tourist Centre]. Cultural show ini diadakan rutin setiap hari Selasa, Rabu, Kamis [jam 15.00-15.45] dan Sabtu [jam 20.30-21.15]. Karena hari masih pagi, saya memutuskan untuk mencoba keliling pusat kota dengan Go KL bus. Bus ini adalah bus khusus yang melayani dua rute dan melewati beberapa tempat wisata. Hebatnya, menaiki bus ini tidak dipungut biaya seringgit pun alias gratis. Jadi bagi anda yang ingin pergi ke Pasar Seni, Jalan Petaling, Bukit Bintang, MaTiC, KL Tower dan Petronas Tower, semuanya bisa ditempuh dengan free Go KL bus ini tanpa membayar dengan transportasi lain. Untuk rute nya sendiri dibagi dalam dua warna, Green line dan Purple Line, untuk lebih lengkap nya bisa lihat peta dibawah.

Jadi saya pergi kemana? ga tau juga sih haha. Saking enaknya keliling kota gratisan, saya jadi betah berlama lama naik Go KL. Alhasil dari pagi hingga sore saya pun tidak beranjak dari bus itu haha, sembari menunggu pertunjukan budaya jam 3 sore, saya perlahan mulai hafal jalan dan arah yang dilewati bus tersebut. Jam sudah menunjukkan pukul 13.00 dan saya sudah sampai di depan gedung MaTiC, 2 jam tersisa sebelum pertunjukkan dimulai dan saya memutuskan untuk naik Bus Go KL lagi menuju pasar seni untuk makan siang. Di sekitar Kasturi Walk Pasar Seni, terdapat beberapa restoran yang menyajikan menu menu india, mata saya tertuju pada kedai India yang memasang Kaligrafi bahasa arab besar besar di atas nya, yang bisa kasi gambaran kalau makanan disini halal kali yak. Karena saya bosan berbicara either dengan bahasa melayu attau inggris yang harus mikir dulu, saya asal menunjuk menu yang sudah disediakan dan ......... setelah saya minta bill, tahukah berapa ringgit yang tertulis? 11.5 Ringgit brooo, sekitar 47.000 untuk sekali makan !. kalo di Indonesia saya sih bakal protes ke waiter nya "eh, mas. ini gak salah bill nya, tolong di cek lagi dong !! mahal banget segitu". Tapi disini saya mau protes sama bapak bapak gede berjanggut itu kah? bisa bisa saya yang di smackdown -_-. Tapi memang salah saya juga sih pesen nya Nasi briyani, telur dengan sepotong ikan gede ditambah teh tarik dingin, juga ga tanya harga main tunjuk aja, but oh men, that's 12 Ringgit !!. Yasudah lah, anggap itu sekalian makan malam, bagi anda yang memang berjiwa ekonomis, makan di dekat tempat wisata memang jatuhnya mahal. Kalau bisa mendapat porsi dan menu yang sama di tempat lain dengan harga lebih murah, kenapa tidak, kan?
 

30 Menit sebelum pertunjukkan dimulai saya sudah keluar dari "Kedai yang namanya tidak boleh disebut - Karena kemahalan" dan kembali naik Bus Go KL menuju MaTiC. Dan belum setengah jalan, DEG.... Traffic Jam !! Karena jam segitu memang waktunya orang kantor pulang ke rumah, dan jalanan saat itu sangat padat. Saya khawatir, bisa bisa terlambat melihat pertunjukan ini :(. Dan benar saja, saya baru tiba di MaTiC sekitar pukul 16.00, yang berarti the show is over already, udah bubar :'(. Boleh saja atraksi lain saya lewatkan, tapi kalau yang ini, rasanya kecewa sekali, menurut saya traveling bukan hanya soal banyaknya tempat yang harus dikunjungi, tapi juga betapa besar minat kita belajar tentang sejarah dan budaya nya, dan melihat cultural show adalah salah satunya. Tapi ya sudahlah .. Show is over, lain kali saya harus mengalokasikan waktu lebih untuk sesuatu yang saya sukai, mungkin next time. Semua ini gara gara bus go KL yang bikin saya keenakan nih haha.  

Akhirnya saya menyetop bus Go KL dan membawa saya ke Menara Petronas setelah kekecewaan itu. Menara kebanggan warga Malaysia yang sempat tercatat dalam sejarah dunia sebagai Menara tertinggi di dunia, sebelum dikalahkan dengan Menara di Dubai dan Taiwan. Tapi setidaknya bagunan kokoh menjulang tinggi di hadapan saya saat itu adalah menara kembar tertinggi di dunia sampai saat ini. Sudah menjadi "kewajiban" untuk berpose semenarik mungkin di landmark suatu negara bagi pelancong pada umumnya. Tapi sayang, saat itu saya bahkan jarang melihat wisatawan yang bisa dimintai tolong buat fotoin. Bahkan malah banyak orang kantoran yang lalu lalang di sekitar karena mungkin itu adalah jam pulang kantor. "ah yasudahlah, ini bukan terakhir kali saya mengunjungi Kuala Lumpur, kan?" Pikirku.

Hari beranjak senja, kutumpangi lagi bus Go KL persis di depan halte KLCC menuju tempat selanjutnya yaitu Jalan Petaling, hari ini saya benar benar bergantung pada bus ini, ini menimbulkan suatu statement dalam benak saya bahwa kalau bus gratis seperti ini bisa membuat warga nya addicted atau ketagihan untuk naik lagi dan lagi, mengapa setidaknya petinggi negara kita punya fasilitas yang kurang lebih sama seperti di KL ini? yah setidaknya untuk mengurangi jumlah motor. Mungkin APBN kita belum cukup ya? atau Indonesia (masih) terlalu luas untuk pengadaan bus gratis seperti ini? Saya percaya kalau Jakarta sudah terlalu sesak, beberapa unit bus gratis pasti akan memengaruhi preferensi pengguna jalan untuk beralih moda transportasi. Kuala Lumpur telah memikat hati saya sejak pertama kali saya menyaksikan sendiri deretan pohon kelapa sawit tertanam rapi dalam perjalanan dari LCCT ke pusat kota, dan sekarang dari transportasi nya. Kota kecil yang apik tertata ini bagaikan maghnet bagi pelancong diseluruh dunia untuk ikhlas bermalam barang satu dua hari, baik untuk berlibur atau sekadar transit.
Jalanan sore hari di sekitar Jalan Petaling - Pasar Seni
Tak terasa saya dengar derap derap langkah kaki penumpang yang turun dari bus, berarti saya sudah ada di stesen akhir yaitu HAB Pasar seni. Untuk menuju Jalan petaling mudah saja, jalan lurus akan membawa anda ke Pasar seni, sedangkan Jalan Petaling ada di sebelah kanan. Di jalan ini anda akan menemukan ratusan toko semi-permanen yang menjual aneka barang seperti Makanan, Baju, Arloji, Kaligrafi Cina, Bunga, Souvenir khas malaysia hingga celana dalam!. Untuk harga sih menurut saya ada yang mahal dan ada yang murah, tergantung penjual dan kemampuan menawar. Saya tidak membeli banyak karena saya sadar diri kalau cuma bawa satu ransel kecil dan hari itu baru hari ke lima dari total 21 hari perjalanan. hanya dua lembar baju cantik seharga RM10/buah untuk bingkisan orang rumah yang sedang resah menunggu kedatangan saya hihi.
Jalan Petaling di malam hari
 
Setelah puas berbelanja dengan waktu yang terbatas, saya kembali ke condo teman Malaysia saya di Batu Kentonment dengan monorel seharga RM2.3 dan menutup perjalanan pada hari ke-5. Esok hari adalah petualangan baru, destinasi baru yang (mungkin) akan menambah kekaguman saya tentang Malaysia :') Chaooo. 


Pengeluaran Hari ke [4]
Bus LCCT ke pusat kota MYR 8, LRT KL Sentral-Pasar Seni MYR 1, Lunch 4 Roti canai dengan teh tarik MYR 5.5, Kartu perdana MYR 11, LRT Pasar Seni-KL Sentral MYR 1, Monorel KL Sentral-Raja Chulan MYR 2.1
TOTAL = MYR 28.6  

Pengeluaran Hari ke [5]
Air minum MYR 1.2, Makan siang nasi briyani + teh tarik MYR 11.5, Belanja baju di Petaling MYR 20, LRT pasar Seni-Masjid Jameek MYR 1, KTM Masjid Jameek-Titiwangsa MYR 1.3
TOTAL = MYR 35 

10 Februari 2014

Menyusuri Secuil ASEAN [1] Yeay .. I've Got the Promo Tickets !!


. Sekitar setahun yang lalu, tepatnya bulan Januari 2013 adalah saat dimana saya mulai merencanakan jalan jalan yang pada awalnya masih bingung masalah destinasi. Beruntung saat itu saya dapat promo Airasia rute Jakarta [CGK] - Kuala Lumpur [KUL] dengan harga Rp.99.000 untuk Januari 2014 ! nunggu setahun men baru berangkat -_- , tapi tak apalah, toh saya juga belum tahu betul mau pergi kemana. Selang waktu berjalan, tiket saya pun akhirnya punya gandengan. Citilink SUB-CGK [Surabaya-Jakarta] saya dapat dengan harga Rp.55.000, Airasia KUL-PNH [Kuala Lumpur-Phnom Penh] dengan harga Rp.210.000, disusul Airasia DMK-HKT [Bangkok-Phuket] hanya dengan Rp.180.000 , dan untuk penerbangan pulang saya membeli Airasia KUL-SUB [Kuala Lumpur-Surabaya] seharga Rp.240.000. So, total untuk semua penerbangan 5 kali menghabiskan sekitar Rp.784.000. Perjalanan dimulai tanggal 17 Januari 2014 dan berakhir tanggal 06 Februari dengan kota kota tujuan di empat negara [Indonesia, Malaysia, Kamboja dan Thailand] Yah ... total 21 hari untuk suatu pengalaman baru yang pasti tidak akan pernah saya lupa.

Pada awalnya, saya mengira kalau saya berwisata pada saat yang tidak tepat, tahulah kalau pada bulan januari 2014 yang lalu, Jakarta dilanda banjir dimana mana, aktifitas transportasi banyak yang lumpuh. Belum lagi kalau kita lihat nilai tukar rupiah terhadap dollar yang merosotnya naudzubillah mindzalik, alhasil saya menukar rupiah saya lebih mahal daripada sebelumnya, 1 Bath thailand yang semula 300 rupiah sekarang naik menjadi Rp.386,-. Ringgit malaysia yang awalnya hanya berkisar Rp.3200,- sekarang melonjak naik menjadi Rp.3725,- ughh... rasanya saya rugi besar. Belum lagi aksi demonstrasi di Thailand dengan tema "Bangkok Shutdown" yang KBRI sendiri menghimbau semua WNI dianjurkan tidak berwisata ke Bangkok. dan terakhir aksi demonstrasi di Phnom Penh [Kamboja] terkait pemilu disana. double sial nih sepertinya :(. But show must go on !!  saya update terus ke teman teman yang ada di Bangkok maupun Phnom penh, tentang perkembangan disana, apakah masih demo? Walaupun jawabanya "masih" pun, saya tetap harus berangkat.

Hari itupun hampir datang, 17 Januari setelah semarak tahun baru sudah selesai, giliran saya berkemas. dan akhirnya 17 Januari saya berpamitan dan berangkat ke Bandara Internasional Juanda Surabaya. Sebuah perjalanan yang singkat selama 55 menit dan saya sudah sampai di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Rencana pertama adalah tukar rupiah ke bath thailand disana, tapi setelah saya cari-cari, hampir semua money changer (bank) disana tidak menyediakan mata uang Baht, lalu saya melihat salah satu bank yang menawarkan Bath tapi dengan kurs Rp.400,- per 1 bath, gile amat -_- ogah ah. Nanti tukar di Thailand aja, pikir saya. Kemudian saya mencari bus Damri ke Lebak bulus, saya akan menginap 3 hari 2 malam di rumah teman saya, Syofian. Selain berhemat budget akomodasi, kunjungan kali ini juga untuk Silaturahmi karena sudah beberapa bulan kami tidak berjumpa.

Tidak ada aktivitas berwisata selama saya berada di Jakarta selama 3 hari itu, karena kota ini sudah seperti rumah kedua saya, tempat tempat yang saya kunjungi selama di Jakarta adalah UIN Syarif Hidayatullah, Bintaro Mall dan Rumah teman di Bintaro. malam nya kami berbincang bincang di rumah teman saya, Juggi, yang juga pernah beberapa kali berwisata ke Bangkok. Ini bukan kali pertama saya akan berkunjung ke Bangkok, sebelumnya pada tahun 2012, saya juga menginjakkan kaki di kota yang orang bilang sebagai "The sin city" ini. Namun karena kunjungan ke bangkok pada 2012 lalu hanya untuk transit selama kurang lebih 7 jam saja, sehingga melihat matahari di Bangkok saja pun belum pernah haha. Jadi anggaplah ini sebagai perjalanan perdana saya di kota yang punya nama asli terpanjang di dunia ini.

Tanggal 20 Januari, saya berpamitan dengan teman saya dan bertolak menuju Bandara Soekarno-Hatta dari Terminal Lebak Bulus pada pukul 7 pagi. Sempat terdengar kabar bahwa terminal ini ditutup karena akan digalakkan proyek stasiun MRT, tapi untungnya bus Damri masih beroperasi disana. Sekitar 2 jam, bus bahkan belum sampai setengah jalan. Banjir di area Jakarta barat membuat jalanan lumpuh. Saya sempat khawatir karena penerbangan saya ke KL sekitar jam 11.30, dan waktu menunjukkan pukul 09.30 dan masih belum setengah jalan, padahal jam 09.30 seharusnya saya sudah check in di kounter dan mengantre imigrasi. Setelah bus merayap perlahan, tiba tiba berhenti. Saya pikir ada apa, eh ternyata salah satu penumpang kebelet pipis, bus kemudian menepi dipinggir jalan dan penumpang lain juga ikutan pipis di tepi jalan :( Yaelah Pak, pentingan pipis yak daripada jadwal penerbanganya !!. Akhirnya setelah kembali merayap di jalan, bus kembali melaju kencang setelah melewati jalan tol cengkareng. fuihhh... lega rasanya tiba di bandara terminal 3 pukul 10.30. 

Saya spontan lari ke terminal keberangkatan internasional dan langsung mengantre di bagian imigrasi. Setengah jam antrian itu pun belum berkurang juga. Saya tanya ke penumpang di depan antrian saya "Mbak, ini kenapa kok gak maju maju?" dengan kecewa dia menjawab kalau petugas imigrasi nya belum datang. What the hell !! ini sudah jam berapa ?? saya tambah panik, tapi setidaknya ini bisa dijadikan alasan in case kalau saya ketinggalan penerbangan. Tapi sebentar saja, petugas imigrasi akhirnya datang dan antrean pun akhirnya maju. Selang beberapa menit saja, pengumuman boarding Airasia QZ8192 ke Kuala Lumpur ditampilkan di layar boarding. Dan akhirnya saya akan bertolak ke kota kedua dalam daftar, Kuala Lumpur ! :D 
My flight is on its way to Kuala Lumpur
Pengeluaran Hari ke [1], [2], [3], [4]
Airport Tax SUB-CGK IDR 40.000, Bus Damri ke Lebak Bulus IDR 30.000, Jalan-jalan selama di jakarta IDR 150.000, Bus Damri ke Soetta IDR 30.000, Airport Tax CGK-KUL IDR 150.000
TOTAL = IDR 400.000 

23 September 2013

Balik Ke Jogja Dengan Melakukan Beberapa Hal Gila


Jalan-jalan ke kota Gudeg Yogyakarta sepertinya udah ga asing lagi di telinga kita… sapa sih yang ga pernah ke Jogja? Mungkin hanya segaian kecil dari kita yang belum bisa menginjakkan kaki di kota sejuta budaya dan  tradisi itu (entar pasti kesana..!). Bagi saya pribadi, perjalanan yang saya tempuh pada tanggal 20-21 September ini adalah trip yang singkat banget, Cuma 2 hari. Karena kesuntukan saya menjalani aktivitas perkuliahan yang bawaanya Cuma pergi kuliah – pulang kos – kuliah lagi – pulang ke kosan lagi dan begitu seterusnya… Saya mencoba melakukan hal hal (agak) gila biar pikiran dan semangat OK lagi (pernah denger nih kalimat haha). Ini adalah kali kelima saya pergi ke Yogyakarta dan tentunya saya mau sesuatu yang baru, yang belum pernah saya lakukan di trip trip sebelumnya. What’s that? Here they are :

Speaking English for Whole days (Ngomong Inggris seharian)

     Saya ga terlalu mahir bahasa inggrisan, Cuma yah apa salahnya sih kalo pengen berpura pura jadi “turis asing” di negeri sendiri? Inilah yang saya terapkan sewaktu kunjungan saya kemarin menuju Yogyakarta. Mulai berangkat dari Terminal Purabaya (Bungurasih), saya berpura pura tidak tahu mana bis yang benar.. Alhasil saya mencoba tanya kepada beberapa orang, baik petugas terminal sampai pedagang di sekitar terminal. Apa jadinya? Percakapan kita bukanya nyambung, malah berganti jadi bahasa isyarat :D. Saya tidak mencemooh, tidak menyudutkan atau sebagainya, bagi saya, pengalaman ini unik sekali loh, kita jadi tahu kalau semisal kita berhadapan dengan orang lokal suatu negara yang ga terlalu lancar berbahasa asing, ini bisa menjadi “latihan awal” kita membiasakan diri. So be positive J.

     Ga hanya di terminal, sepanjang perjalanan pun saya berlagak jadi turis, dengan kornet, eh kernet…. Dengan penumpang dan kondektur juga… Karena masyarakat khususnya di kota yang Untouristy atau tidak terlalu banyak aktivitas turis asing nya seperti surabaya jarang nemu yang “beginian”, Keberadaan saya membawa hawa segar (gile pede amat gue -_-). FYI, Tiket bus Surabaya – Yogyakarta per bulan september 2013 adalah IDR 47.000 (Mira, Sugeng Rahayu), lebih murah sedikit dibanding kereta yang harganya IDR 55.000. Bedanya adalah, waktu tempuh bis bisa 2 jam lebih lama daripada kereta, Kereta kurang lebih 6 jam, sedangkan bis bisa mencapai 8 jam atau bahkan lebih (tergantung lalu lintas).

     Sampai di Terminal Giwangan – Yogyakarta. Saya menumpang bus dalam kota seharga 3000 rupiah, entah mengapa bus TransJogja tidak peroperasi hingga ke terminal Giwangan pagi itu, apa karena saya tiba terlalu pagi atau rute Giwangan sudah dihapus (?) entahlah. Saya turun di Terusan jalan Malioboro, karena masih pagi pagi sekali, aktivitas di Malioboro masih sangat sepi, bahkan tidak ada aktivitas samasekali, saya hanya mendapati beberapa orang yang sedang berburu santap pagi di sepanjang jalan, itupun tidak terlalu banyak. Saya sedikit bingung mau melanjutkan perjalanan ke mana, karena hampir semua tempat wisata masih tutup sekitar jam 06.00-06.30 itu. Saya memutuskan untuk membeli sarapan saja. Tapi kali ini, saya gak ngomong inggris dulu hehe… biasanya sih kalo mereka (pedagang) tahu kita turis asing, harganya bakal dinaikin, so sekarang saya berbicara bahasa Jawa Alus kepada salah satu penjual soto di sudut Jalan Malioboro. 7000 Rupiah untuk nasi Soto ayan dengan Es Teh segar….. cukup ramah di kantong walaupun saya pernah dapat yang lebih murah. “Ngomong Inggris” saya ga berhenti sampai disitu, di perjalanan ke tempat tempat berikutnya, saya tetap menerapkan hal ini untuk sebuah esensi perjalanan yang berbeda.

Pagelaran Wayang di Karaton Yogyakarta – Pakdhe Budhe Terakhir


     Ada sebagian dari kita cenderung bersikap apatis terhadap kesenian lokal nusantara, Sebut saja kesenian Wayang. Beberapa dari kita PASTI belum pernah melihat pagelarang Wayang secara langsung. Kita kita ini kebanyakan “beralih” kepada dinamika yang lebih fleksibel karena menganggap seni tradisional sudah terlalu sukar untuk dikembangkan, untuk diperkenalkan. Anggap saja jika kita punya 10 koresponden, sebagian besar dari mereka lebih cenderung mampu dalam mengembangkan budaya barat, rasa ingin tahu mereka sangat besar terhadapnya. Tapi bagaimana dengan budaya lokal kita? Inilah yang saya alami sewaktu berada di salah satu pagelaran wayang di Kertaton Jogja. Seluruh personil pewayangan adalah Pakdhe / Budhe dengan usia yang bisa dikatakan sudah lanjut, dengan tangan tangan yang gemetaran memainkan deru deru kolintang, gamelan dan gong. Ibu separuh baya berkonde yang dengan lantang nya menyindenkan lagu lagu campursari, ahh…. Hatiku terasa bangga karena merasa memiliki semua esensi tradisi ini. Tapi tak tampak satupun pemuda seusiaku melakukan hal yang sama, apakah wayang di keraton ini akan berakhir jika tangan tangan terampil pegawai keraton ini sudah tidak kuat menahan, bahkan untuk sebilah bambu penyangga wayang kulit ini? Aku jadi gelisah, tak bisa berfikir sejauh itu.. Namun, siapa yang salah? Kami kah sebagai generasi muda? Bisa jadi. Atau seni wayang yang sedang “kudet”? bisa jadi.

     Saat saya dalam posisi netral, saya tidak melihat pagelaran itu dari awal hingga akhir, semua terasa sedikit membosankan. Hentakan hentakan sunyi pemukul kolintang, gamelan… Tokoh wayang yang berbahasa “Jowo Alus Keraton” tentulah sangat menyulitkan saya, kami, untuk mencerna isi dari cerita yang ditampilkan. Saya sempat melihat beberapa turis asing yang mempunyai keingintahuan tinggi, bahkan sempat tersenyum lebar saat hentakan gamelan pertama dimainkan, tapi seiring dengan berjalanya pagelaran, senyum senyum itupun pudar, mereka menguap, berbicara sendiri, beberapa bahkan angkat kaki. Apalagi suasana saat itu sangat bising dengan hadirnya beratus ratus anak sekolah dasar yang sedang “studi banding” ke keraton, tahulah bahwa mereka bawaanya mengoceh terus, belum begitu peduli dengan pahlawan budaya yang ada di depan mereka, Beberapa turis akhirnya hanya bisa menyaksikan semar dan bagong dalam sorotan cahaya layar tanpa bisa mendengar alunan musik dengan pesinden nya. Mereka pun Pergi !  

     Saya ingin berteriak ke mereka “Hey, jangan pergi.. Ini bagian yang paling seru !” tapi aku sendiri pun tidak mengerti alur nya. Aku terdiam, seolah ingin menghibur para pemain wayang bahwa masih ada saya disini, dengan beberapa orang lokal yang bersorak untuknya. Diantara beberapa penonton itu, saya melihat seorang kakek yang membawa serta cucunya, beliau menceritakan secara detail tentang jalan cerita, lakon dan arti bahasa, sayang sekali, cucunya hanya acuh memainkan Blackberry dengan tatapan bosan. Oh Tuhan… Inikah akhir dari kesenian asli negara kami? Apakah esensi wayang keraton akan berakhir dengan tutup nya usia Pakdhe / Budhe “terakhir” itu?

     Aku merenung, wayang butuh perubahan ! aku tahu merubah tampilan wayang berarti turut merubah esensi dari kesenian yang bersangkutan, itu akan jadi bukan asli lagi. Tapi.. Kalau seperti ini terus, sepertinya ukiran kulit semar dan bagong itu hanya akan berhenti di generasi mereka. Entahlah, aku bukan ahli wayang.. tapi yang pasti, turis turis itu sudah angkat kaki.

Jauh Jauh ke Jogja Cuma buat beli PowerBank !

     Alasan saya ke jogja? Karena ada pameran IT di JEC (Jogja Expo Center), ada salah satu produk powerbank yang mematok harga sangat murah, 69.000 Rupiah untuk Powerbank berdaya 3000MAH. Entahlah, saya suka kalap kalo mendengar kata kata promo, terutama barang barang yang bisa saya pake untuk berwisata. Walaupun pada akhirnya, biaya nya akan jatuh lebih mahal karena diakumulasikan dengan tiket bus PP, makan, dll, tapi ada rasa senang disana bisa travelling, dapat barang murah lagi !(Ibu Ibu mode : On) haha. So selepas saya bergalau di Keraton, saya lanjutkan perjalanan menuju JEC dengan TransJogja, hanya 3000 rupiah. Maunya sih beli powerbank SAJA, tapi saya kalap, banyak barang barang murah, diberi diskon besar besaran, akhirnya hari itu adalah hari dimana saya hampir menghabiskan seluruh isi dompet saya untuk barang elektronik, tak perlulah saya mengatakan besaranya, pokoknya kalap dah haha. Saya bergegas angkat kaki dari JEC sebelum “Kartu debit ikut tergesek”

Perjalanan Pulang, Hiburan seorang Pesinden

     Setelah JEC, saya ke Malioboro… yah seperti itulah wujud “Khao San Road nya Yogyakarta”. Ramai dengan hingar bingar diskon, dan yang paling menonjol adalah batik. Karena sudah beberapa kali saya kalap belanja di Malioboro, saya pun hanya membeli beberapa bingkisan kecil untuk keperluan personal. Sayapun mengakhiri wisata singkat ini dengan Bus Mira menuju Surabaya. Seorang ibu paruh baya naik perlahan menuju kursi persis di depan saya, beliau berdiri dan melantunkan tembang tembang jawa… aku tahu apa maksudnya, lagu sendu tentang seorang istri yang tidak pernah dikunjungi oleh suaminya, itu bahasa jawa ngoko, yang biasa kami pakai dalalam keseharian. Aku benar benar terhibur setelah hapir enam belas jam disuguhi lantunan dangdut dengan syair berbasis pornoaksi, walaupun tidak terlontar secara langsung. Ibu itu menoleh kepadaku, aku membalasnya dengan senyum, kuberi dia selembar uang dua ribuan…. Kelihatanya dia adalah seorang pesinden, tapi mengapa jadi pengamen? Suara nya bagus sekali, sampai satu bis yang saya tumpangi menjadi hening ketika mendengar lantunan nya. Oh ibu pesinden, jika saja semua pengamen seperti beliau…. Telingaku tidak akan sakit !