Menyusuri Secuil ASEAN !!

Kutinggalkan decak kagum untuk negara-negara ini. ASEAN is Paradise !

This is the Way I love Being a Backpacker !

Ber-backpacking menguji kita banyak hal, mandiri, terbuka dan berani.

Rindu Kota Sultan, Yogyakarta!

Berpetualang (lagi) di Kota yang sarat akan Tradisi nya, Yogyakarta

Welcome In Thailand (Part 1) - Sehari Di Bangkok

Pengalaman Pertama Pergi Ke Luar Negeri, Gratis !

23 September 2013

Balik Ke Jogja Dengan Melakukan Beberapa Hal Gila


Jalan-jalan ke kota Gudeg Yogyakarta sepertinya udah ga asing lagi di telinga kita… sapa sih yang ga pernah ke Jogja? Mungkin hanya segaian kecil dari kita yang belum bisa menginjakkan kaki di kota sejuta budaya dan  tradisi itu (entar pasti kesana..!). Bagi saya pribadi, perjalanan yang saya tempuh pada tanggal 20-21 September ini adalah trip yang singkat banget, Cuma 2 hari. Karena kesuntukan saya menjalani aktivitas perkuliahan yang bawaanya Cuma pergi kuliah – pulang kos – kuliah lagi – pulang ke kosan lagi dan begitu seterusnya… Saya mencoba melakukan hal hal (agak) gila biar pikiran dan semangat OK lagi (pernah denger nih kalimat haha). Ini adalah kali kelima saya pergi ke Yogyakarta dan tentunya saya mau sesuatu yang baru, yang belum pernah saya lakukan di trip trip sebelumnya. What’s that? Here they are :

Speaking English for Whole days (Ngomong Inggris seharian)

     Saya ga terlalu mahir bahasa inggrisan, Cuma yah apa salahnya sih kalo pengen berpura pura jadi “turis asing” di negeri sendiri? Inilah yang saya terapkan sewaktu kunjungan saya kemarin menuju Yogyakarta. Mulai berangkat dari Terminal Purabaya (Bungurasih), saya berpura pura tidak tahu mana bis yang benar.. Alhasil saya mencoba tanya kepada beberapa orang, baik petugas terminal sampai pedagang di sekitar terminal. Apa jadinya? Percakapan kita bukanya nyambung, malah berganti jadi bahasa isyarat :D. Saya tidak mencemooh, tidak menyudutkan atau sebagainya, bagi saya, pengalaman ini unik sekali loh, kita jadi tahu kalau semisal kita berhadapan dengan orang lokal suatu negara yang ga terlalu lancar berbahasa asing, ini bisa menjadi “latihan awal” kita membiasakan diri. So be positive J.

     Ga hanya di terminal, sepanjang perjalanan pun saya berlagak jadi turis, dengan kornet, eh kernet…. Dengan penumpang dan kondektur juga… Karena masyarakat khususnya di kota yang Untouristy atau tidak terlalu banyak aktivitas turis asing nya seperti surabaya jarang nemu yang “beginian”, Keberadaan saya membawa hawa segar (gile pede amat gue -_-). FYI, Tiket bus Surabaya – Yogyakarta per bulan september 2013 adalah IDR 47.000 (Mira, Sugeng Rahayu), lebih murah sedikit dibanding kereta yang harganya IDR 55.000. Bedanya adalah, waktu tempuh bis bisa 2 jam lebih lama daripada kereta, Kereta kurang lebih 6 jam, sedangkan bis bisa mencapai 8 jam atau bahkan lebih (tergantung lalu lintas).

     Sampai di Terminal Giwangan – Yogyakarta. Saya menumpang bus dalam kota seharga 3000 rupiah, entah mengapa bus TransJogja tidak peroperasi hingga ke terminal Giwangan pagi itu, apa karena saya tiba terlalu pagi atau rute Giwangan sudah dihapus (?) entahlah. Saya turun di Terusan jalan Malioboro, karena masih pagi pagi sekali, aktivitas di Malioboro masih sangat sepi, bahkan tidak ada aktivitas samasekali, saya hanya mendapati beberapa orang yang sedang berburu santap pagi di sepanjang jalan, itupun tidak terlalu banyak. Saya sedikit bingung mau melanjutkan perjalanan ke mana, karena hampir semua tempat wisata masih tutup sekitar jam 06.00-06.30 itu. Saya memutuskan untuk membeli sarapan saja. Tapi kali ini, saya gak ngomong inggris dulu hehe… biasanya sih kalo mereka (pedagang) tahu kita turis asing, harganya bakal dinaikin, so sekarang saya berbicara bahasa Jawa Alus kepada salah satu penjual soto di sudut Jalan Malioboro. 7000 Rupiah untuk nasi Soto ayan dengan Es Teh segar….. cukup ramah di kantong walaupun saya pernah dapat yang lebih murah. “Ngomong Inggris” saya ga berhenti sampai disitu, di perjalanan ke tempat tempat berikutnya, saya tetap menerapkan hal ini untuk sebuah esensi perjalanan yang berbeda.

Pagelaran Wayang di Karaton Yogyakarta – Pakdhe Budhe Terakhir


     Ada sebagian dari kita cenderung bersikap apatis terhadap kesenian lokal nusantara, Sebut saja kesenian Wayang. Beberapa dari kita PASTI belum pernah melihat pagelarang Wayang secara langsung. Kita kita ini kebanyakan “beralih” kepada dinamika yang lebih fleksibel karena menganggap seni tradisional sudah terlalu sukar untuk dikembangkan, untuk diperkenalkan. Anggap saja jika kita punya 10 koresponden, sebagian besar dari mereka lebih cenderung mampu dalam mengembangkan budaya barat, rasa ingin tahu mereka sangat besar terhadapnya. Tapi bagaimana dengan budaya lokal kita? Inilah yang saya alami sewaktu berada di salah satu pagelaran wayang di Kertaton Jogja. Seluruh personil pewayangan adalah Pakdhe / Budhe dengan usia yang bisa dikatakan sudah lanjut, dengan tangan tangan yang gemetaran memainkan deru deru kolintang, gamelan dan gong. Ibu separuh baya berkonde yang dengan lantang nya menyindenkan lagu lagu campursari, ahh…. Hatiku terasa bangga karena merasa memiliki semua esensi tradisi ini. Tapi tak tampak satupun pemuda seusiaku melakukan hal yang sama, apakah wayang di keraton ini akan berakhir jika tangan tangan terampil pegawai keraton ini sudah tidak kuat menahan, bahkan untuk sebilah bambu penyangga wayang kulit ini? Aku jadi gelisah, tak bisa berfikir sejauh itu.. Namun, siapa yang salah? Kami kah sebagai generasi muda? Bisa jadi. Atau seni wayang yang sedang “kudet”? bisa jadi.

     Saat saya dalam posisi netral, saya tidak melihat pagelaran itu dari awal hingga akhir, semua terasa sedikit membosankan. Hentakan hentakan sunyi pemukul kolintang, gamelan… Tokoh wayang yang berbahasa “Jowo Alus Keraton” tentulah sangat menyulitkan saya, kami, untuk mencerna isi dari cerita yang ditampilkan. Saya sempat melihat beberapa turis asing yang mempunyai keingintahuan tinggi, bahkan sempat tersenyum lebar saat hentakan gamelan pertama dimainkan, tapi seiring dengan berjalanya pagelaran, senyum senyum itupun pudar, mereka menguap, berbicara sendiri, beberapa bahkan angkat kaki. Apalagi suasana saat itu sangat bising dengan hadirnya beratus ratus anak sekolah dasar yang sedang “studi banding” ke keraton, tahulah bahwa mereka bawaanya mengoceh terus, belum begitu peduli dengan pahlawan budaya yang ada di depan mereka, Beberapa turis akhirnya hanya bisa menyaksikan semar dan bagong dalam sorotan cahaya layar tanpa bisa mendengar alunan musik dengan pesinden nya. Mereka pun Pergi !  

     Saya ingin berteriak ke mereka “Hey, jangan pergi.. Ini bagian yang paling seru !” tapi aku sendiri pun tidak mengerti alur nya. Aku terdiam, seolah ingin menghibur para pemain wayang bahwa masih ada saya disini, dengan beberapa orang lokal yang bersorak untuknya. Diantara beberapa penonton itu, saya melihat seorang kakek yang membawa serta cucunya, beliau menceritakan secara detail tentang jalan cerita, lakon dan arti bahasa, sayang sekali, cucunya hanya acuh memainkan Blackberry dengan tatapan bosan. Oh Tuhan… Inikah akhir dari kesenian asli negara kami? Apakah esensi wayang keraton akan berakhir dengan tutup nya usia Pakdhe / Budhe “terakhir” itu?

     Aku merenung, wayang butuh perubahan ! aku tahu merubah tampilan wayang berarti turut merubah esensi dari kesenian yang bersangkutan, itu akan jadi bukan asli lagi. Tapi.. Kalau seperti ini terus, sepertinya ukiran kulit semar dan bagong itu hanya akan berhenti di generasi mereka. Entahlah, aku bukan ahli wayang.. tapi yang pasti, turis turis itu sudah angkat kaki.

Jauh Jauh ke Jogja Cuma buat beli PowerBank !

     Alasan saya ke jogja? Karena ada pameran IT di JEC (Jogja Expo Center), ada salah satu produk powerbank yang mematok harga sangat murah, 69.000 Rupiah untuk Powerbank berdaya 3000MAH. Entahlah, saya suka kalap kalo mendengar kata kata promo, terutama barang barang yang bisa saya pake untuk berwisata. Walaupun pada akhirnya, biaya nya akan jatuh lebih mahal karena diakumulasikan dengan tiket bus PP, makan, dll, tapi ada rasa senang disana bisa travelling, dapat barang murah lagi !(Ibu Ibu mode : On) haha. So selepas saya bergalau di Keraton, saya lanjutkan perjalanan menuju JEC dengan TransJogja, hanya 3000 rupiah. Maunya sih beli powerbank SAJA, tapi saya kalap, banyak barang barang murah, diberi diskon besar besaran, akhirnya hari itu adalah hari dimana saya hampir menghabiskan seluruh isi dompet saya untuk barang elektronik, tak perlulah saya mengatakan besaranya, pokoknya kalap dah haha. Saya bergegas angkat kaki dari JEC sebelum “Kartu debit ikut tergesek”

Perjalanan Pulang, Hiburan seorang Pesinden

     Setelah JEC, saya ke Malioboro… yah seperti itulah wujud “Khao San Road nya Yogyakarta”. Ramai dengan hingar bingar diskon, dan yang paling menonjol adalah batik. Karena sudah beberapa kali saya kalap belanja di Malioboro, saya pun hanya membeli beberapa bingkisan kecil untuk keperluan personal. Sayapun mengakhiri wisata singkat ini dengan Bus Mira menuju Surabaya. Seorang ibu paruh baya naik perlahan menuju kursi persis di depan saya, beliau berdiri dan melantunkan tembang tembang jawa… aku tahu apa maksudnya, lagu sendu tentang seorang istri yang tidak pernah dikunjungi oleh suaminya, itu bahasa jawa ngoko, yang biasa kami pakai dalalam keseharian. Aku benar benar terhibur setelah hapir enam belas jam disuguhi lantunan dangdut dengan syair berbasis pornoaksi, walaupun tidak terlontar secara langsung. Ibu itu menoleh kepadaku, aku membalasnya dengan senyum, kuberi dia selembar uang dua ribuan…. Kelihatanya dia adalah seorang pesinden, tapi mengapa jadi pengamen? Suara nya bagus sekali, sampai satu bis yang saya tumpangi menjadi hening ketika mendengar lantunan nya. Oh ibu pesinden, jika saja semua pengamen seperti beliau…. Telingaku tidak akan sakit !

03 September 2013

Jelajah Tiga Negeri [ 4 ] Melaka Malam Hari, Seru Atau Seram?

Selama di dalam bus Singapore-Johore express yang saya tumpangi saat itu, saya bisa melihat pemandangan Negara Singapura secara utuh, karena biasanya Cuma naik MRT, secara MRT jalan di bawah tanah :/. Yang saya temukan bahwa tidak semua wilayah di Singapura padat penduduk atau istilah lainya, tanah nya sudah terlalu penuh untuk modernitas. Di bagian utara Singapura, tepatnya sepanjang jalan perbatasan Woodlands (SIN-MY), masih saya lihat lahan-lahan hijau kosong yang sepertinya masih dalam pengerjaan untuk di upgrade menjadi lebih modern. Sepanjang jalan ini, terlihat banyak kendaraan Singapore dan Malaysia berlalu lalang, mulai dari mobil pribadi sampai giant truck expor-impor kedua negara membuat lalu lintas perbatasan menjadi sedikit macet. Oh iya, sekadar informasi bahwa Negara Singapura dengan Malaysia dihubungkan dengan jembatan Woodlands sejauh 1,9 KM. Selang beberapa menit, tibalah saya di Kastam Singapura untuk cap paspor, agak tegang juga sih awalnya, karena pernah denger cerita cerita seram soal WNI yang di deportasi dan sebagainya haha. Tapi thanks God semuanya berjalan lancar sesuai harapan, hanya satu saran yang saya sampaikan, Jangan pernah menghilangkan sobekan kartu kedatangan yang Mbak Pramugari berikan waktu di pesawat ! karena jika kedapatan hilang, maka kita akan di periksa lebih lanjut oleh keimigrasian setempat, mungkin kita nanti disangka imigran gelap, atau mau nge-bom, atau teroris, atau koruptor... haha, jangan sampai terjadi yah, saya hanya ABG imut yang pengen backpacking, yang penting jangan hilangkan sobekan kartu kedatangan ini, bisa dikatakan itu separuh nyawa kita haha...

Cap, cap, cap. setelah masalah cap paspor beres, kita akan resmi keluar dari Singapura, lalu kemana setelah itu? jangan berbahagia dulu karena kita harus melewati satu proses "eksekusi" lagi, Imigrasi Malaysia ! dari Imigrasi Singapura, bisa naik bus dengan brand yang sama tanpa dipungut biaya lagi selama tiket tidak hilang ! jadi kalau ada tiket atau dokumen dokumen yang kita dapat selama perjalanan, simpan saja, siapa tahu diperlukan lagi, juga bisa buat kenang kenangan hehe.

Saya kembali naik bus Singapore-Johore express dan sampailah saya di Kastam Malaysia, bangunan Sultan Iskandar. nah, mungkin bagian ini sedikit membingungkan bagi pejalan pemula. Ingat bahwa Imigrasi Malaysia terhubung dengan JB Sentral (Terminal bus antar-kota Johor) dan JB sentral Tidak Sama dengan terminal Larkin (untuk yang akan melanjutkan perjalanan ke kota kota di Malaysia/Thailand). So, setelah cap imigrasi Malaysia kelar, turunlah menuju tempat bus SBS atau Singapore-Johore Express berhenti menunggu penumpang (bisa tanya ke bagian Informasi agar tidak tersesat), naiklah bus yang sama tanpa dipungut biaya asal tiket tidak hilang. Hati hati dengan penipuan beberapa oknum yang berkata "Bus finishes here !" karena kita masih bisa menaiki bus dengan gratis hingga ke Terminal Larkin.

So, Welcome to Terminal Larkin - Kota Johor Bahru. ga usah lama lama dah disini, maju aja langsung ke bagian ticketing reservation, bagi yang mau ke Melaka, disediakan bus dengan jadwal dan tarif yang bervariasi. Yang paling murah adalah bis City Express dengan tarif sekitar RM 19 atau Rp 57.000 sedangkan kebanyakan bus yang lain memasang tarif sebesar RM 20 atau Rp.60.000 (hemat Rp 3000 nih ceritanya haha). Bus saya berangkat pukul 15.30, perjalanan ke Melaka memakan waktu lebih kurang 2,5 jam sampai 3 jam (estimasi jalan padat). Setelah tiba di Melaka Sentral, saya mencoba berbuka dengan menu seadanya, kebetulan terdapat warung makanan tidak jauh dari Melaka Sentral. Kalo indonesia punya Warteg (Warung Tegal), Malaysia juga punya Warmel (Warung Melaka) #maksabanget XD Satu lembar roti prata dan segelas jus jeruk cukup mengenyangkan perut setelah seharian menjalankan puasa :) walaupun jus nya agak mahal -_- RM 3 (Rp 9.000).

Perut (sedikit) terisi, saya melanjutkan perjalanan menuju Hostel, karena kebetulan Hostel saya ada di Lorong Bukit Cina (kawasan little india nya Melaka), saya disarankan untuk naik bus Panorama Melaka (RM 1,2) dan berhenti persis didepan "gang" lorong bukit Cina. yang membuat saya heran adalah Kawasan little india kok ya diberi nama Bukit Cina, bukan bukit India ? hehe.. lupakan saja. Hostel saya bernama "Yellow Mansion Hostel" dengan bangunan semikuno dengan cat khas nya berwarna kuning. Saya sengaja tidak booking online di hostel ini (dan seluruh perjalanan di Malaysia) karenan saya yakin, cari hostel di Malaysia bakal lebih mudah ketimbang di Singapura, seperti harga promo yang saya lihat di website untuk YMH (Yellow Mansion Hostel) sebesar RM 8. Sialnya, karena ga booking online, saya dapat harga RM 14. Siall :(, dan sedihnya lagi, saya Tamu satu-satunya di hostel itu. Kebayang ga sih hostel tingkat yang lumayan gede itu cuma saya yang nempatin? kesanya serem serem gimanaa gitu. Memang melaka tidak seramai Singapura dan mayoritas turis hanya melakukan one day tour alias tanpa menginap. Sewaktu saya sedang mandi untuk siap-siap city tour, saya dengar derap derap langkah kaki dari atas loteng, entah itu si pemilik hostel atau makhluk astral atau kuping saya yang bolot :( tapi saya tetap  positive thinking saja...

Now is the time for Night city tour !! Dari hostel saya tidak perlu naik bus lagi karena kawasan city centre dapat ditempuh dengan berjalan kaki tidak lebih dari 100 meter saja. City centre yang saya maksudkan itu adalah The Dutch Square (Christ Church, The Stadthuys, Clock Tower, Victoria Fountain dan Balai Seni Lukis Melaka). Suasana sangat sepi saat itu, hanya terlihat beberapa orang yang nongkrong dan foto foto, setelah itu menghilang entah kemana. Pernah dengar Jonker Night Market? ituloh Jalan jonker yang super rame sewaktu weekend (Jumat-Minggu), sialnya karena saya datang hari kamis, kemeriahan Jonker Night Market pun tak saya dapatkan :/ .Saya pribadi tidak terlalu menyukai kota Melaka di malam hari, semuanya serba sepi, tak terlihat aktivitas turis yang menyolok selain di bar dan diskotik, masa iya saya anak imut ini pergi ke diskotik. Ugghh. Kalau saja ada Jonker night Market pastinya melaka bakal lebih hidup.

Lupakan soal Dutch Square yang sepi, saya mau naik Melaka River Cruise !!. Kota Melaka punya satu sungai yang dulunya jadi pusat perdagangan, dan saat ini dimanfaatkan untuk atraksi turis. Salah satunya adalah Melaka River Cruise, kita akan dibawa menyusuri keindahan Sungai Melaka selama kurang lebih 45 menit, dengan dipandu oleh seorang boat driver dan virtual guide yang akan membimbing kita menyusuri sudut sudut Melaka. Dari informasi yang saya dapatkan, untuk satu kali naik dipatok harga sebesar RM 10, tapi ternyata saya salah, untuk warga non-malaysia, kita harus membayar RM 15 atau 45.000 untuk sekali jalan. Agak mahal saya rasa, untuk naik perahu 45 menit saja harus merogoh kocek 45.000, tapi karena ini adalah tourist attraction yang wajib dicoba di Melaka, saya akhirnya penasaran juga dan ingin coba...






.