23 September 2013

Balik Ke Jogja Dengan Melakukan Beberapa Hal Gila


Jalan-jalan ke kota Gudeg Yogyakarta sepertinya udah ga asing lagi di telinga kita… sapa sih yang ga pernah ke Jogja? Mungkin hanya segaian kecil dari kita yang belum bisa menginjakkan kaki di kota sejuta budaya dan  tradisi itu (entar pasti kesana..!). Bagi saya pribadi, perjalanan yang saya tempuh pada tanggal 20-21 September ini adalah trip yang singkat banget, Cuma 2 hari. Karena kesuntukan saya menjalani aktivitas perkuliahan yang bawaanya Cuma pergi kuliah – pulang kos – kuliah lagi – pulang ke kosan lagi dan begitu seterusnya… Saya mencoba melakukan hal hal (agak) gila biar pikiran dan semangat OK lagi (pernah denger nih kalimat haha). Ini adalah kali kelima saya pergi ke Yogyakarta dan tentunya saya mau sesuatu yang baru, yang belum pernah saya lakukan di trip trip sebelumnya. What’s that? Here they are :

Speaking English for Whole days (Ngomong Inggris seharian)

     Saya ga terlalu mahir bahasa inggrisan, Cuma yah apa salahnya sih kalo pengen berpura pura jadi “turis asing” di negeri sendiri? Inilah yang saya terapkan sewaktu kunjungan saya kemarin menuju Yogyakarta. Mulai berangkat dari Terminal Purabaya (Bungurasih), saya berpura pura tidak tahu mana bis yang benar.. Alhasil saya mencoba tanya kepada beberapa orang, baik petugas terminal sampai pedagang di sekitar terminal. Apa jadinya? Percakapan kita bukanya nyambung, malah berganti jadi bahasa isyarat :D. Saya tidak mencemooh, tidak menyudutkan atau sebagainya, bagi saya, pengalaman ini unik sekali loh, kita jadi tahu kalau semisal kita berhadapan dengan orang lokal suatu negara yang ga terlalu lancar berbahasa asing, ini bisa menjadi “latihan awal” kita membiasakan diri. So be positive J.

     Ga hanya di terminal, sepanjang perjalanan pun saya berlagak jadi turis, dengan kornet, eh kernet…. Dengan penumpang dan kondektur juga… Karena masyarakat khususnya di kota yang Untouristy atau tidak terlalu banyak aktivitas turis asing nya seperti surabaya jarang nemu yang “beginian”, Keberadaan saya membawa hawa segar (gile pede amat gue -_-). FYI, Tiket bus Surabaya – Yogyakarta per bulan september 2013 adalah IDR 47.000 (Mira, Sugeng Rahayu), lebih murah sedikit dibanding kereta yang harganya IDR 55.000. Bedanya adalah, waktu tempuh bis bisa 2 jam lebih lama daripada kereta, Kereta kurang lebih 6 jam, sedangkan bis bisa mencapai 8 jam atau bahkan lebih (tergantung lalu lintas).

     Sampai di Terminal Giwangan – Yogyakarta. Saya menumpang bus dalam kota seharga 3000 rupiah, entah mengapa bus TransJogja tidak peroperasi hingga ke terminal Giwangan pagi itu, apa karena saya tiba terlalu pagi atau rute Giwangan sudah dihapus (?) entahlah. Saya turun di Terusan jalan Malioboro, karena masih pagi pagi sekali, aktivitas di Malioboro masih sangat sepi, bahkan tidak ada aktivitas samasekali, saya hanya mendapati beberapa orang yang sedang berburu santap pagi di sepanjang jalan, itupun tidak terlalu banyak. Saya sedikit bingung mau melanjutkan perjalanan ke mana, karena hampir semua tempat wisata masih tutup sekitar jam 06.00-06.30 itu. Saya memutuskan untuk membeli sarapan saja. Tapi kali ini, saya gak ngomong inggris dulu hehe… biasanya sih kalo mereka (pedagang) tahu kita turis asing, harganya bakal dinaikin, so sekarang saya berbicara bahasa Jawa Alus kepada salah satu penjual soto di sudut Jalan Malioboro. 7000 Rupiah untuk nasi Soto ayan dengan Es Teh segar….. cukup ramah di kantong walaupun saya pernah dapat yang lebih murah. “Ngomong Inggris” saya ga berhenti sampai disitu, di perjalanan ke tempat tempat berikutnya, saya tetap menerapkan hal ini untuk sebuah esensi perjalanan yang berbeda.

Pagelaran Wayang di Karaton Yogyakarta – Pakdhe Budhe Terakhir


     Ada sebagian dari kita cenderung bersikap apatis terhadap kesenian lokal nusantara, Sebut saja kesenian Wayang. Beberapa dari kita PASTI belum pernah melihat pagelarang Wayang secara langsung. Kita kita ini kebanyakan “beralih” kepada dinamika yang lebih fleksibel karena menganggap seni tradisional sudah terlalu sukar untuk dikembangkan, untuk diperkenalkan. Anggap saja jika kita punya 10 koresponden, sebagian besar dari mereka lebih cenderung mampu dalam mengembangkan budaya barat, rasa ingin tahu mereka sangat besar terhadapnya. Tapi bagaimana dengan budaya lokal kita? Inilah yang saya alami sewaktu berada di salah satu pagelaran wayang di Kertaton Jogja. Seluruh personil pewayangan adalah Pakdhe / Budhe dengan usia yang bisa dikatakan sudah lanjut, dengan tangan tangan yang gemetaran memainkan deru deru kolintang, gamelan dan gong. Ibu separuh baya berkonde yang dengan lantang nya menyindenkan lagu lagu campursari, ahh…. Hatiku terasa bangga karena merasa memiliki semua esensi tradisi ini. Tapi tak tampak satupun pemuda seusiaku melakukan hal yang sama, apakah wayang di keraton ini akan berakhir jika tangan tangan terampil pegawai keraton ini sudah tidak kuat menahan, bahkan untuk sebilah bambu penyangga wayang kulit ini? Aku jadi gelisah, tak bisa berfikir sejauh itu.. Namun, siapa yang salah? Kami kah sebagai generasi muda? Bisa jadi. Atau seni wayang yang sedang “kudet”? bisa jadi.

     Saat saya dalam posisi netral, saya tidak melihat pagelaran itu dari awal hingga akhir, semua terasa sedikit membosankan. Hentakan hentakan sunyi pemukul kolintang, gamelan… Tokoh wayang yang berbahasa “Jowo Alus Keraton” tentulah sangat menyulitkan saya, kami, untuk mencerna isi dari cerita yang ditampilkan. Saya sempat melihat beberapa turis asing yang mempunyai keingintahuan tinggi, bahkan sempat tersenyum lebar saat hentakan gamelan pertama dimainkan, tapi seiring dengan berjalanya pagelaran, senyum senyum itupun pudar, mereka menguap, berbicara sendiri, beberapa bahkan angkat kaki. Apalagi suasana saat itu sangat bising dengan hadirnya beratus ratus anak sekolah dasar yang sedang “studi banding” ke keraton, tahulah bahwa mereka bawaanya mengoceh terus, belum begitu peduli dengan pahlawan budaya yang ada di depan mereka, Beberapa turis akhirnya hanya bisa menyaksikan semar dan bagong dalam sorotan cahaya layar tanpa bisa mendengar alunan musik dengan pesinden nya. Mereka pun Pergi !  

     Saya ingin berteriak ke mereka “Hey, jangan pergi.. Ini bagian yang paling seru !” tapi aku sendiri pun tidak mengerti alur nya. Aku terdiam, seolah ingin menghibur para pemain wayang bahwa masih ada saya disini, dengan beberapa orang lokal yang bersorak untuknya. Diantara beberapa penonton itu, saya melihat seorang kakek yang membawa serta cucunya, beliau menceritakan secara detail tentang jalan cerita, lakon dan arti bahasa, sayang sekali, cucunya hanya acuh memainkan Blackberry dengan tatapan bosan. Oh Tuhan… Inikah akhir dari kesenian asli negara kami? Apakah esensi wayang keraton akan berakhir dengan tutup nya usia Pakdhe / Budhe “terakhir” itu?

     Aku merenung, wayang butuh perubahan ! aku tahu merubah tampilan wayang berarti turut merubah esensi dari kesenian yang bersangkutan, itu akan jadi bukan asli lagi. Tapi.. Kalau seperti ini terus, sepertinya ukiran kulit semar dan bagong itu hanya akan berhenti di generasi mereka. Entahlah, aku bukan ahli wayang.. tapi yang pasti, turis turis itu sudah angkat kaki.

Jauh Jauh ke Jogja Cuma buat beli PowerBank !

     Alasan saya ke jogja? Karena ada pameran IT di JEC (Jogja Expo Center), ada salah satu produk powerbank yang mematok harga sangat murah, 69.000 Rupiah untuk Powerbank berdaya 3000MAH. Entahlah, saya suka kalap kalo mendengar kata kata promo, terutama barang barang yang bisa saya pake untuk berwisata. Walaupun pada akhirnya, biaya nya akan jatuh lebih mahal karena diakumulasikan dengan tiket bus PP, makan, dll, tapi ada rasa senang disana bisa travelling, dapat barang murah lagi !(Ibu Ibu mode : On) haha. So selepas saya bergalau di Keraton, saya lanjutkan perjalanan menuju JEC dengan TransJogja, hanya 3000 rupiah. Maunya sih beli powerbank SAJA, tapi saya kalap, banyak barang barang murah, diberi diskon besar besaran, akhirnya hari itu adalah hari dimana saya hampir menghabiskan seluruh isi dompet saya untuk barang elektronik, tak perlulah saya mengatakan besaranya, pokoknya kalap dah haha. Saya bergegas angkat kaki dari JEC sebelum “Kartu debit ikut tergesek”

Perjalanan Pulang, Hiburan seorang Pesinden

     Setelah JEC, saya ke Malioboro… yah seperti itulah wujud “Khao San Road nya Yogyakarta”. Ramai dengan hingar bingar diskon, dan yang paling menonjol adalah batik. Karena sudah beberapa kali saya kalap belanja di Malioboro, saya pun hanya membeli beberapa bingkisan kecil untuk keperluan personal. Sayapun mengakhiri wisata singkat ini dengan Bus Mira menuju Surabaya. Seorang ibu paruh baya naik perlahan menuju kursi persis di depan saya, beliau berdiri dan melantunkan tembang tembang jawa… aku tahu apa maksudnya, lagu sendu tentang seorang istri yang tidak pernah dikunjungi oleh suaminya, itu bahasa jawa ngoko, yang biasa kami pakai dalalam keseharian. Aku benar benar terhibur setelah hapir enam belas jam disuguhi lantunan dangdut dengan syair berbasis pornoaksi, walaupun tidak terlontar secara langsung. Ibu itu menoleh kepadaku, aku membalasnya dengan senyum, kuberi dia selembar uang dua ribuan…. Kelihatanya dia adalah seorang pesinden, tapi mengapa jadi pengamen? Suara nya bagus sekali, sampai satu bis yang saya tumpangi menjadi hening ketika mendengar lantunan nya. Oh ibu pesinden, jika saja semua pengamen seperti beliau…. Telingaku tidak akan sakit !

1 komentar: